MANADO – Berdalih format Sharing Power, potensi polarisasi politik justru dimunculkan Gubernur Olly Dondokambey di Sulawesi Utara (Sulut). Pengkotakkan politik dan kekuasaan tersebut didasarkan atas kesukuan terbesar di Bumi Nyiur Melambai. Padahal, wilayah ini sangatlah manajemuk dengan banyak suku dan latar belakang manusianya.
Sebaik-baiknya politik dan kekuasaan adalah yang merangkul seluruh golongan. Tidak membedakannya, apalagi menurut porsi kesukuannya. Bukankah negeri ini juga dibangun dengan kebhinekaan. Semua juga tetap solid hingga saat ini karena keberagaman tersebut dirawat dengan baik. Namun, apa jadinya jika harmoni ini dipolarisasikan meski dengan dalih Sharing Power sekalipun?
Apa yang dilakukan oleh Gubernur Olly Dondokambey dalam membentuk kekuasaan melalui konsep Sharing Power wajib dikritisi. Konsep Sharing Power ini rencananya akan diterapkan dalam periode ke-2 masa kepemimpinannya. Dalam perkembangannya, Sharing Power tersebut lalu dikenal sebagai Golden Triangle. Konsep politik ini membagi kekuasaan menurut 3 suku besar di Bumi Nyiur Melambai.
Tiga suku besar tersebut adalah Minahasa, Sangihe, dan Bolmong. Representasinya diwujudkan dalam duet paslon Cagub/Cawagub Sulut Olly Dondokambey-Steven Kandouw. Olly-Steven berasal dari suku Minahasa. Etnis Sangihe diwakili Ketua DPRD Sulut Fransiskus Andi S, lalu Bolmong menduduki pos jabatan Sekretaris Provinsi (Sekprov) Sulut.
“Kami semua menghormati langkah politik yang akan diambil oleh pasangan Olly-Steven. Yang sudah disampaikan Pak Gubernur (Olly Dondokambey) memang begitu. Yang jelas, putra Bolmong duduk di Sekprov Sulut,” ungkap Bupati Bolaang Mongondow Yasti Soepredjo.
Profil Bumi Nyiur Melambai dari sisi keberagaman sebenarnya sangat indah. Apalagi, ada banyak suku dan bahasa di dalamnya. Selain Minahasa, Sangihe, dan Bolmong, Bumi Nyiur Melambai juga memiliki suku Gorontalo, Tionghoa, dan lainnya. Dari sisi postur, Minahasa menjadi suku dominan dengan slot 43,2%. Sangihe memiliki porsi 22,8%, lalu 17,4% suku Bolmong.
Komposisi lainnya diisi 7,5% suku Gorontalo, termasuk 3% Tionghoa. Namun, jangan lupakan juga slot komposisi suku lainnya yang mencapai 6%. Suku lainnya diantaranya Talaud, Siau, Bantik, Bajo, Jawa, dan Bali. Para suku tersebut mendiami 13.892,47 Kilometer Persegi wilayah Bumi Nyiur Melambai. Total tingkat populasi sekitar 2,5 Juta Jiwa dengan kepadatan 180,45 Kilometer Persegi.
“Semua memiliki opsinya masing-masing. Mesin politik juga bekerja untuk pemenangan. Sebab, target besar sudah ditetapkan,” tegas Yasti.
Lebih lanjut, suku-suku tersebut juga membawa keberagaman untuk bahasanya. Bumi Nyiur Melambai saat ini memiliki sedikitnya 10 bahasa lokal. Sebut saja, Bahasa Kaidipang, Manado, Mongondow, juga Ponosokan. Ada juga Bahasa Sangihe, Talaud, Tombulu, Tonsawang, Tonsea, dan Tontemboan. Lalu, apakah keberagaman ini akan tercemar oleh politik kesukuan meski dengan format Sharing Power sekalipun?.(*)