JAKARTA – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, melaksanakan pertemuan dengan Tim Kajian Politik Ketatanegaraan DPD RI di Kediaman Rumah Dinas, Jalan Denpasar Raya, Setiabudi, Jakarta, Rabu (15/9/2021).
Pertemuan dihadiri Ketua Tim Kajian Politik Ketatanegaraan DPD RI Alirman Sori dan jajaran anggota seperti Fachrul Razi, Bustami Zainudin, Tamsil Linrung, Habib Ali Alwi, Ahmad Nawardi, Ahmad Kanedi, Hasan Basri dan M Syukur.
Ketua Tim Kajian Politik Ketatanegaraan DPD RI, Alirman Sori, mengatakan ada empat agenda yang dibahas secara mendalam pada pertemuan tersebut. Pertama adalah roadshow konstitusi yang akan dilaksanakan dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD).
FGD sendiri akan dilaksanakan sebanyak empat kali. Untuk Wilayah Barat I akan diselenggarakan di Universitas Andalas, Wilayah Barat II di Universitas Diponegoro, Wilayah Timur I di Universitas Hasanuddin dan Wilayah Timur II di Universitas Sam Ratulangi. FGD rencananya diselenggarakan pada Oktober.
“Concern kita adalah amandemen. Ini adalah momentum untuk melakukan koreksi. Koreksi yang dimaksud adalah untuk menata kembali dinamika yang berkembang dan tidak tertampung dalam konstitusi. Salah satunya misalnya Presidential Threshold (PT) dengan syarat 20 persen,” ujar dia.
Menurutnya, yang ditegaskan dalam konstitusi adalah capres-cawapres diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
“PT 20 persen sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu tidak diatur dalam konstitusi. Konstitusi hanya menegaskan bahwa capres-capres diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik,” tegas Alirman.
Agenda kedua adalah memperkuat posisi DPD RI yang merupakan utusan daerah. “Diperkuat bukan untuk kepentingan DPD RI, tetapi untuk kepentingan bangsa dan negara. Poin ketiga yang kami bahas adalah GBHN,” tutur dia.
Terakhir, pertemuan tersebut juga membahas mengenai calon perseorangan. “Ini bukan isu baru, tapi wacana yang sudah lama berkembang. Ada desakan dari daerah agar putera-puteri terbaik bangsa ini yang tidak tertampung di partai politik bisa dicalonkan sebagai capres-cawapres melalui jalur perseorangan,” ulas Alirman.
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, memaparkan, amandemen ke-5 UUD 1945 untuk mengembalikan kembali hak bagi non-partisan untuk maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
Senator asal Jawa Timur itu menjelaskan, akibat amandemen yang terjadi sejak tahun 1999 hingga 2002, DPD RI sebagai lembaga non-partisan menjadi kehilangan hak untuk mencalonkan pasangan capres-cawapres.
“Amandemen ke-5 UUD 1945 ini berupaya untuk memulihkan kembali hak DPD RI untuk mengajukan kandidat capres-cawapres yang dikebiri. Maka, hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat kebangsaan sebagaimana falsafah Pancasila, harus kita benahi,” ujar LaNyalla.
LaNyalla menegaskan, amandemen ke-5 UUD 1945 merupakan upaya untuk meluruskan arah perjalanan bangsa ini. Menurutnya, kekeliruan perjalanan bangsa tak boleh dibiarkan begitu saja. Sebaliknya, mengembalikan arah bangsa ini sesuai dengan semangat para pendiri bangsa harus terus diupayakan.
“Amandemen ke-5 UUD 1945 ini merupakan momentum untuk mengoreksi perjalanan bangsa ini. DPD RI ini adalah lembaga legislatif non-partisan yang memiliki akar legitimasi kuat. Sehingga hak DPD RI untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden adalah rasional,” tegas LaNyalla.
LaNyalla menilai perjalanan arah negara sudah melenceng dari cita-cita pendiri bangsa, dengan adanya ketimpangan pada amandemen konstitusi. LaNyalla pun menyebut perlu ada pembenahan atau koreksi atas hal itu.
LaNyalla juga menyinggung hasil survei Akar Rumput Strategis Consulting (ARSC) yang dirilis pada 22 Mei 2021 lalu. Dari hasil tersebut ditemukan bahwa 71,49 persen responden ingin calon presiden tidak harus dari kader partai.
Sementara itu hanya 28,51 persen saja yang menginginkan calon presiden dari kader partai. LaNyalla menilai hasil studi tersebut harus direspons dengan baik.
“Seharusnya DPD bisa menjadi saluran atas harapan 71,49 persen responden dari hasil survei ARSC yang menginginkan calon presiden tidak harus kader partai,” terangnya.(*)