Dilema Pemanfaatan Teknologi dalam Pemilu

oleh -456 views

Oleh S.Habib Pemerhati Politik

Jakarta – Ruang diskusi politik lokal serentak tahun ini membuka kembali ide penggunaan teknologi dalam demokrasi. Alasan utamanya adalah upaya pembatasan penyebaran virus covid-19. Apakah teknologi pemilu akan menjadi salah satu pembaharuan teknis berdemokrasi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa isu yang sudah pernah dibahas sebelumnya. Dua kelompok membagi forum debat kepemiluan. Ada yang mendukung pemanfaatan teknologi dalam pemilu. Namun, ada juga pendapat bahwa teknis mencoblos masih yang terbaik bagi masyarakat Indonesia.

Mencoblos sejak lama, selain dari mencontreng, kebanyakan pemilihan menggunakan cara mencoblos surat suara. Cara tradisional ini dianggap paling mudah dipahami oleh rakyat. Seluruh rakyat dengan berbagai latar belakang pendidikan bisa menggunakan hak pilih dengan mudah.

Bayangkan saja, memberi tanda di surat suara denggan alat bantu paku memang mudah. Namun, apakah benar seluruh rakyat bisa menggunakan hak pilih dengan baik. Selain dari cara memilih dengan cara noken di papua. Kita tidak bisa menutup mata dengan masalah setiap pemilu.

Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) misalnya memperlihatkan tren partisipasi pemilih dan suara tidak sah dalam pilkada. Data SPD memperlihatkan angka partisipasi pada Pilkada 2015 dengan rata-rata 64,02 persen. Sedangkan partisipasi pemilih pada Pilkada 2017 berjumlah 71,58 persen.

Kemudian angka partisipasi pemilih pada Pilkada 2018 berjumlah 73,24 persen.
Akan tetapi, data partisipasi pemilih ini tidak bisa dibaca dengan telanjang saja. Artinya, ada penilaian lanjutan dari partisipasi ini. SPD mengingatkan kita tentang banyaknya pemilih yang tidak menggunakan cara mencoblos dengan benar. Secara berturut, surat suara tidak sah pada Pilkada 2015 berjumlah 4,43 persen.

Lalu, pada pilkada 2017, surat suara tidak sah berkisar 2,14 persen. Terakhir, sekitar 3,20 persen suara tidak sah pada Pilkada 2018. Nah, dari data yang diolah oleh SPD, kita bisa melihat bahwa mencoblos saja tidak memenuhi hak asasi dalam menggunakan hak pilih. Meskipun ada saja sindiran tentang latar belakang suara tidak sah.

Sekurang-kurangnya, cara ini dalam kondisi normal masih mengalami masalah teknis.
E-Voting Pemilihan elektronik atau dikenal dengan e-voting kembali muncul. Dari sisi pendukung pemanfaatan teknologi. Bahwa e-voting memberi dua harapan sekaligus.

Pertama, e-voting menekan potensi penyebaran virus covid-19. Alasannya, teknis pelipatan surat suara, penggunaan paku, dan teknis di TPS akan berganti dengan e-voting.
Contoh yang lagi hangat adalah cara pemilihan di Amerika Serikat. Dengan dalih ini, pendukung e-voting akan memberi pendapat bahwa Amerika saja bisa. Tentu saja, pemanfaatan teknologi ini bukan diperuntukkan untuk Pilkada 2020. Hanya saja, memilih dengan e-voting sudah mulai diteliti secara mendalam.

Salah satu lembaga yang pernah mengusulkan teknis e-voting adalah Centre for Electoral Reform (CETRO). Namun, dukungan itu dengan syarat ada persiapan dari pemilu ke pemilu, sampai ditemukan cara terbaik dalam menggunakan e-voting versi Indonesia.

Untuk mengkaji e-voting versi Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bahkan sudah menyiapkan mesin e-voting. Uji coba dalam demokrasi pun sudah dilakukan di Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Siduarjo pada tahun 2018. Tidak berhenti disini, mesin e-voting BPPT juga dipakai dalam Pilkada di beberapa desa di Kabupaten Boyolali pada tahun 2019.

Tidak hanya teknis, dasar hukum e-voting pun sudah ada. Putusan penafsir konstitusi melalui Putusan MK Nomor 147/PUU-VIII/2009 memberikan pijakan konstitusional e-voting. Meskipun begitu, dasar hukum ini tidak wajib bagi pemangku kebijakan. Izin menggunakan e-voting hanya dengan pertimbangan, kajian, uji coba, dan berbagai macam syarat lainnya.

Menyambut Masa Depan Penulis tidak serta merta mendukung pemanfaatan teknologi pemilu pada Pilkada 2020. Untuk sementara, kita masih dalam satu garis bahwa e-voting harus dikaji ulang. Akan tetapi, pengajian e-voting bukan untuk obrolan saja. Kita harus bisa mencoba cara baru yang efektif dan efisien.

Sebagai contoh, pemanfaatan ponsel pintar mengubah semua teknis komunikasi manual dan tradisional. Misal, persoalan surat menyurat dan komunikasi telpon. Dua cara ini bahkan sudah berganti dengan cara panggilan video. Tidak ada masalah dalam hal teknologi komunikasi tersebut.

Untuk pemilu, pemanfaatan teklogi sudah dilakukan secara bertahap. Bukan hanya soal pemilihan dengan cara elektronik. Tahapan pemanfaatan teknologi sudah dimulai dari melakukan rekapitulasi perolehan suara berbasis aplikasi. Ada aplikasi dari KPU, ada juga aplikasi dari pengembang mandiri untuk kepentingan politisi.

Selain itu, cara hitung cepat bahkan bisa dijadikan contoh yang dekat. Meskipun kita harus mengingat bahwa hitung cepat hanya digunakan untuk penghitungan potensi perolehan suara. Bukan keseluruhan hasil suara. Tidak hanya itu, Bawaslu bahkan menggunakan beberapa aplikasi untuk kepentingan pengawasan pemilu.

Dengan begitu, ada banyak catatan dalam memanfaatkan teknologi dalam pemilu. Tidak ada kata haram dalam teknologi pemilu. Sehingga demokrasi Indonesia masih membuka ruang pembelajaran teknologi. Kalau saat ini pengawasan dan rekapitulasi saja. Bukan tidak mungkin, suatu saat pemilu kita 100 persen teknologi.(***)

No More Posts Available.

No more pages to load.