SUMATERA BARAT – Kementerian Pertanian (Kementan) mendorong petani di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat untuk memanfaatkan pupuk organik. Sebagaimana diketahui, pupuk organik diperlukan untuk proses pengembangan budidaya pertanian.
Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL), ingin para petani bisa menghasilkan pupuk organik secara mandiri yang kualitasnya bisa lebih baik dari pupuk anorganik saat ini. “Hasil pertanian non pestisida itu kualitasnya lebih bagus dan pasarnya bisa lebih besar. Pupuk organik itu makin menguntungkan ke depan. Seharusnya petani memang bisa memproduksi sendiri,” ujarnya.
Kementan melalui penyuluh pertanian juga memberi pelatihan kepada petani memproduksi pupuk secara baik. “Tinggal diajarkan bagaimana mengumpul kompos. Itu memang butuh keahlian dan itu peran penyuluh untuk mengajarkan,” kata SYL.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) Kementan, Dedi Nursyamsi menuturkan, pupuk organik yang telah dikomposkan ataupun segar berperan penting dalam perbaikan sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta sumber nutrisi tanaman.
“Pupuk organik yang telah dikomposkan dapat menyediakan hara dalam waktu yang lebih cepat, karena selama proses pengomposan telah terjadi proses dekomposisi yang dilakukan oleh berbagai macam mikroba,” kata Dedi.
Menurut Desi, dengan kelangkaan pupuk saat ini, maka salah satu alternatif adalah gencar membuat pupuk organik untuk memenuhi unsur hara bagi pertumbuhan tanaman agar peningkatan produksi dapat tercapai.
“Pupuk organik itu juga diperlukan untuk kesehatan tanah. Maka dari itu diperlukan pemupukan berimbang agar budidaya pertanian dapat berkembang dengan baik,” kata Dedi.
Sebagaimana diketahui, setelah mengikuti Sekolah Lapang (SL) IPDMIP melakukan pembinaan kepada petani, di mana salah satu materinya adalah belajar membuat pupuk organik.
PPL Kecamatan Luak, Hidayati dan Koordinator BPP kecamatan Luak Riza Afrina begitu semangat menganjurkan pembuatan pupuk kompos. Bersama kelompok tani yang berada di Nagari Mungo, mereka menggerakkan masyarakat untuk berlomba membuat kompos dari kotoran sapi. Sebab, para petani memiliki modal berupa minimal 1 ekor sapi.
Melalui gerakan ini yang dinamai “Mungo Mengompos”, masyarakat Mungo menjelma menjadi penghasil kompos untuk memenuhi kebutuhan akan unsur hara untuk kebutuhannya sendiri.(*)