Perkuat Toleransi Keberagaman, PEWARNA Indonesia Minta Dukungan Ketua DPD RI

oleh -949 views

JAKARTA – Persatuan Wartawan Nasrani (PEWARNA) Indonesia melakukan audiensi dengan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, di Ruang Delegasi Lantai 8, Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen Senayan, Kamis (7/4/2022).

PEWARNA Indonesia meminta dukungan Ketua DPD RI untuk terus mengampanyekan toleransi dan keberagaman yang semakin rapuh di Indonesia.

Pada kesempatan itu, Ketua DPD RI diwakili Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin dan Togar M Nero beserta Kepala Biro Protokol, Humas dan Media, Mahyu Darma beserta jajaran.

Sedangkan dari PEWARNA Indonesia hadir Yusuf Mujiono (Ketua Umum), Ronald Onibala (Sekretaris Jenderal), Albert Muntu (Bendahara Umum), Ashiong Munthe (Ketua Penelitian dan Pengembangan), Antonius Natan (Organisasi Kaderisasi Keanggotaan), Anna Kezia (Departemen Rohani) dan Djajang Buntoro (Sekretaris Daerah PD Jawa Barat).

Ketua Umum PEWARNA Indonesia, Yusuf Mujiono, menjelaskan organisasinya berdiri sejak tahun 2013. Namun baru mendapat legalitas pada empat tahun lalu.

“Kami sudah berdiri di delapan provinsi. Mungkin ada pertanyaan mengapa wartawan mengedepankan agama. Perlu kami jelaskan bahwa meski kami mengambil segmen Nasrani, tapi tetap mengedepankan kebersamaan,” kata Yusuf.

Dikatakannya, belum lama ini organisasinya menyelenggarakan dialog lintas agama di Masjid Istiqlal. Itulah peran merajut kebangsaan dalam bingkai keagamaan yang diperankan oleh PEWARNA Indonesia.

“Kami melihat ada kerinduan untuk bisa duduk bersama lintas agama. Kami menganalisa ada apa dengan bangsa ini. Kami menilai komunikasi yang jadi masalahnya. Kami kemudian merumuskan program kami gerakan lintas umat,” katanya.

Dikatakannya, baru-baru ini pihaknya juga menyelenggarakan Napak Tilas Rasul Jawa pada 28 Maret hingga 4 April 2022.

“Kami ingin hal ini dapat menjadi wisata toleransi. Napak tilas ini untuk mengingat pada tahun 1.800 penginjil Jawa itu dalam beragama mengkolaborasikan dengan kebudayaan kita,” paparnya.

Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifudin, mengatakan Ketua DPD RI selalu concern dalam mengampanyekan bahwa bangsa ini sesungguhnya telah jauh meninggalkan Pancasila dan cita-cita para pendiri bangsa.

“Sebenarnya bangsa ini sudah murtad terhadap DNA asli dan durhaka kepada para pendiri bangsanya. Momentumnya sejak dilakukannya amandemen pada 1999-2002, yang secara jelas meninggalkan Pancasila sebagai falsafah. Sehingga sekarang tidak nyambung lagi naskah pembukaan dengan pasal-pasal Konstitusi,” papar Sefdin.

Hal yang harus dilakukan, Sefdin melanjutkan, adalah dengan kembali kepada Pancasila. Menurutnya, Pancasila bukan dibuat oleh Bung Karno, tetapi ditemukan oleh Bung Karno sebagai mutiara terpendam yang sudah ada sebelum VOC datang.

“Secara prinsip, Sefdin melanjutkan, bangsa ini adalah bangsa yang berketuhanan, bangsa yang memanusiakan manusia, bangsa yang bersatu, mengedepankan musyawarah mufakat dan bangsa yang mau berbagi,” tegas Sefdin.

Menurutnya, hal itulah yang kini tercerabut lantaran kita memberikan ruang yang besar dan tunggal kepada partai politik. “Apapun yang dilakukan, sepanjang mereka bersekongkol dan bersepakat maka terjadilah yang diinginkan tersebut. Salah satunya Presidential Threshold yang menyebabkan polarisasi. Presidential Threshold membatasi putra-putri terbaik berkontestasi,” kata Sefdin.

Akibatnya, kita pun menyaksikan drama kolosal pembelahan sesama anak bangsa imbas dari pemilu dengan kandidat head to head.

“Kita saksikan drama kolosal yang saling bully, caci maki, saling lapor dan melakukan apapun demi kepentingan kelompoknya. Pancasila dibenturkan dengan Islam. Kita patut bersyukur tanggal 15 Maret telah ditetapkan sebagai Hari Melawan Islamophobia,” tegas Sefdin.

Dikatakannya, Pancasila adalah wadah utuh tak hanya untuk umat Islam, Kristen tetapi untuk seluruhnya. “Konsepsinya diimplementasikan melalui MPR, di mana ada utusan golongan, utusan daerah, partai politik, fraksi TNI/Polri. Itu idealnya. Ini yang diperjuangkan oleh Ketua DPD RI dan saya kira kita satu frekuensi,” tutur Sefdin.

Dikatakannya, hal terpenting dalam berjalannya bangsa ini adalah mewujudkan negara kesejahteraan atau welfare state. “Selesaikan dulu fundamentalnya agar kita tak menyelesaikan persoalan secara karitatif dan kuratif. Pasal 29 UUD 1945 itu, dalam pasal 1, Indonesia ini merupakan negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat 2, negara menjamin pemeluk agama menjalankan ibadahnya masing-masing,” tutur dia.

Perpecahan dan ketidakharmonisan, lanjut Sefdin, justru narasinya datang dari elit, bukan dari masyarakat. “Ini proxy war. Datang dari kepentingan perubahan peta geo politik internasional, lalu disambut oleh masyarakat yang gelisah karena tak welfare tadi. Bak bara dengan bensin. Jadi, menyelesaikan persoalan ini harus secara fundamental issue. Kalau karitatif akan terus mengulang saja,” tegas Sefdin.(***)

No More Posts Available.

No more pages to load.