JAKARTA – Beberapa minggu kedepan kita akan menghadapi sebuah ajang pesta demokrasi di sejumlah wilayah daerah di Indonesia (Pemilukada), setidaknya ada 270 daerah dengan rincian 9 Provinsi, 240 Kabupaten dan, 37 kota melakukan pemilihan kepala daerah, pesta pergantian kepala daerah ini adalah sebuah momentum dimana masyarakat melakukan sebuah konsolidasi untuk menentukan pemimpin didaerah mereka selama lima tahun kedepan. Dan tentunya ajang lima tahunan ini juga menjadi sebuah ajang evaluasi terhadap kinerja pemerintah Provinsi, Kabupaten dan, Kota atas amanah rakyat yang telah di emban oleh pemimpin daerah terpilih sebelumnya.
Selain pandemi covid-19, momentum lima tahun sekali ini tentu banyak menyita perhatian publik, kita ketahui bersama bahwa untuk melenggang menjadi kandidat dalam sebuah pesta demokrasi Pemilukada, para kandidat harus memegang rekomendasi dari partai politik di tingkat pusat.
Namun ada yang menarik dari tiap pilkada yang telah berlangsung semenjak lahirnya reformasi dan semenjak kita menganut sistem desentralisasi, tentunya pada pilkada yang akan mendatang tak kalah menariknya, bahwa banyak kandidat yang maju berasal dari lingkaran kekuasaan baik dari kekuasaan di pusat maupun kekuasaan di tingkat daerah, yang banyak menyedot perhatian tentunya adalah majunya beberapa kolega lingkaran elit kekuasaan.
Dengan tingginya persentase keikut sertaan kandidat yang berasal dari lingkaran kekuasaan, tentunya persentase yang terpilihnya juga besar, yang menjadi pertanyaan adalah, sebenarnya fenomena apa yang sedang terjadi di dalam sistem demokrasi di Indonesia ? apakah ini sebuah gejala (fenomena) biasa dalam sistem demokrasi di Indonesia ? atau ada sebuah fenomena khusu yang terjadi ?
OLIGARKI
Sebuah bentuk pemerintahan yang dikuasai oleh segelintir minoritas kecil adalah sebuah fenomena oligarki, Secara umum menurut Jeffery Winter Oligarki “adalah segelintir orang yang bisa menggunakan kekayaanya untuk mempertahankan sejumlah kekayaanya dan juga dapat mempertahankan kekuatan politiknya” menurut perkembangan sejarahnya oligarki di Indonesia lahir paska konsolidasi kemerdekaan republik Indonesia, atau paska tumbangnya Orde Lama yakni pada masa Orde Baru, Menurut Ilmuan Ekonomi Politik Vedi Hadzi bahwa Negara Lah yang melahirkan para oligarch ketika itu di bawah presiden Suharto langsung, dalam artian oligarki lahir dari rahim Negara.
Dengan sistem kekuasaan Soeharto sangat sentralistik, pada masa Orde Baru para oligarch ini berada di sentra-sentara kekuasaan negara dalam hal ini berada di Jakarta. Paska tumbangnya Soeharto, Indonesia memasuki fase sistem desentralisasi (otonomi daerah) dalam artian bahwa daerah berhak menentukan dan mengelola pemerintahan dan sumberdaya mereka sendiri, namun sistem desentralisasi memiliki celah sehingga hal ini juga melahirkan para tuan-tuan baru dan para oligarch baru di tingkatan daerah.
Bahwa reformasi yang terjadi pada tahun 1998 meninggalkan residu para aktor-aktornya, banyak dari mereka dapat melakukan metamorfosa dan bertahan paska tumbangnya suharto, Menurut Winters pada umumnya meraka adalah aktor-aktor lokal seperti tokoh-tokoh daerah, para tokoh keagamaan, para birokrat, para politikus, serta para pengusaha yang pada rezim Soeharto telah mengalami sebuah kematangan. Para aktor-aktor tersebut bermetamorfosa menjadi oligarch baru, mereka berhasil melakukan akumulasi dan perluasan kekayaan serta meningkatkan pengaruh ikatan keluarga atau politik dinasti dalam mengendalikan kebijakan pemerintah
DISTRIBUSI KEKUASAAN
Dikutip dari kompas.com Menurut Nagara Institue, dari 541 wilayah meliputi provinsi dan kabupaten/kota yang menggelar pilkada sepanjang tiga periode terakhir (2015, 2016, 2017), sebanyak 80 wilayah atau 14,78 persen (kepala daerah terpilih memiliki hubungan keluarga dengan pejabat publik). Banten menempati urutan pertama provinsi yang paling banyak (55,56 persen)
Dari data yang kita peroleh dan fenomena yang kita lihat sekarang ini, bahwa telah terjadi konsentrasi kekuasaan pada segelintir orang yang hampir terjadi di seluruh wilayah dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota di Indonesia, hal ini menunjukan ada yang salah, menurut Vedi Hadzi ada dua faktor yang mempengaruhi sistem demokrasi kita, yang pertama adalah Design Elektoral dan kedua yang paling banyak mempengaruhi adalah kondisi struktural. Kondisi struktural ini adalah hal yang sangat sentral yang kita alami saat ini, bahwa fenomena yang terjadi saat ini diakibatkan oleh gap yang sangat tinggi terhadap sumber daya. adalah akses terhadap kekuasaan dan akses terhadap kapital, selama gap struktural ini masih terjadi sistem sistem apapun yang kita gunakan dalam demokrasi kita. Fenomena oligarki akan terus terjadi.
Dikutip dari katadata.co.id Dalam Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse menunjukkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% total kekayaan penduduk dewasa di tanah air. Sementara 10% orang terkaya menguasai 75,3% total kekayaan penduduk, fenomena ini memang tidak hanya terjadi di Indonesia, namun hal yang menjadi pertanyaan adalah dengan sistem demokrasi liberal yang diterapkan dalam sistem demokrasi di Indonesia mengapa hal ini masih tetap terjadi ? dan Gap antara yang kaya dan yang miskin semakin mengangak ? dimana peran dan tugas Negara selama ini ?
Melakukan Langka-langkah Strategis
Melihat situasi dan kondisi yang terjadi saat ini, lalu apa langkah-langkah strategis yang harus dilakukan oleh kita, yang pertama adalah, tetap memastikan sistem demokrasi yang ada sekarang ini harus tetap berjalan, karena dengan sistem demokrasi, kita di dudukan secara setara antara satu orang dengan orang lainya, setara antara yang miskin dengan yang kaya, atau antara laki-laki dan perempuan (one man one vote), dengan sistem demokrasi pula setiap orang mempunyai kesempatan untuk melakukan berbagai aktivitas politik dan ekonominya. Dengan sistem demokrasi harapannya sirkulasi terhadap akses politik dan kapital terjadi.
Merubah pola sistem pembangunan kita yang sangat bergantung terhadap Industri ekstraktif terhadap sumberdaya alam, kita ketahui bersama bahwa Indonesia sangat ketergantungan sekali dengan Industri sumberdaya alamnya, sejarah mencatat bahwa beberapakali pertumbuhan Indonesia yang berada diatas angka 5% disebabkan adanya sebuah booming komuditas, sebut saja ketika Orde Baru (oil booming) dan ketika era SBY booming batu bara dan sawit, pertumbuhan yang disandarkan pada komoditas ini sangat volatile dan kita harus merubah pola pembangunan seperti itu dengan cara membangun industri manufaktur.
Kenapa industri manufaktur ? Karena membangun industri manufaktur adalah salah satau langkah yang sangat baik dan sangat strategis, Dengan terbangunnya industri manufaktur diharapkan meningkatnya angka pertumbuhan. dengan industri manufaktur kita dapat membuka lapangan pekerjaan yang sangat besar, sehingga memberikan peluang bagi khalayak umum untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf kehidupan, dengan meningkatnya kesejahteraan dan tarap kehidupan tentunya dapat membuka peluang dan sirkulasi terhadap akses kapital dan kekuasaan.
Membangun Sumber Daya Manusia (SDM), ini adalah sebuah kunci meningkatkan daya saing manusia Indonesia, namun hal ini masih jauh dari harapan, anggaran yang sangat besar di sektor pendidikan Indonesia belum menghasilkan sebuah kemajuan yang signifikan, hal ini terbukti dikawasan Asia Tenggara menurut data yang diperoleh dari Global Talent Competitiveness indeks pendidikan kita masih jauh tertinggal diantara Negara-negara yang ada di ASEAN, yang mana Indonesia masih di bawah Vietnam, Fhilipina dan Thailand.
Langkah selanjutnya adalah, memperkuat partai politik, partai politik adalah salah satu pilar demokrasi, meskipun anggapan dan cap yang buruk terhadap partai politik di Indonesia selama ini membuat sebagian orang enggan untuk masuk dan menjadi anggota partai politik, hal ini yang menjadi pekerjaan rumah kita, bagai mana partai politik itu menjadi sehat dan kuat, bagai mana partai politik dapat merekrut, menghasilkan dan mencetak kader-kader unggulan seperti pada era awal kemerdekaan, dan bagaimana partai politik dapat mendorong kemajuan dan menampung aspirasi para anggotanya, karena melalui partai politik jugalah anggota memiliki akses terhadap lembaga-lembaga politik pembuat kebijakan.
Beberapa langkah-langkah strategis yang saya sampaikan mungkin sudah menjadi diskusi rekomendasi atau bahkan dalam proses pelaksanaan pada pemerintah pusat maupun daerah, namun dalam implementasi dan pelaksanaanya masih jauh dari harapan, hal ini diperlukan sebuah dorongan dan pengawalan oleh berbagai pihak dari akademisi hingga civil society, sehingga sirkulasi dan akses terhadap kapital dan kekuasaan tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang. Semoga Pemilukada yang akan dihelat pada masa pandemi ini menghasilkan pemimpin-pemimpin yang amanah dan dapat membuat perubahan-perubahan yang baik bagi daerah-daerah yang melaksanakan pemilukada.(***)