KEFAMENANU: Festival Wonderful Indonesia (FWI) Crossborder Indonesia – Timor Leste yang digelar 31 Oktober dan 1 November 2019, berlangsung sukses. Selama dua hari masyarakat mengunjungi lokasi kegiatan, selain untuk menyaksikan panggung hiburan juga untuk membeli produk-produk dan kebutuhan pokok yang dijual di stand-stand yang disediakan di area Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Napan, Kefamenanu, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.
Sejumlah warga Timor Leste tampak datang menyaksikan festival yang puncaknya berlangsung Jumat (1/11). Semula puncak festival bakal digelar Sabtu (2/10) , namun karena Sabtu ada peringatan hari arwah, maka festival pun dimajukan satu hari.
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Robertus Nahas, mengatakan Festival Wonderful Indonesia kali ini tak sekadar menyajikan kuliner lokal dan bahan pokok. Tetapi juga menampilkan kekayaan budaya NTT. Salah satunya kain tenun tradisional asli Timor Tengah Utara.
Ia menjelaskan, masing-masing suku atau daerah mempunyai kain tenun dengan ciri unik. Untuk membedakan dari daerah mana kain tenun tersebut berasal, bisa dilihat dari pemilihan warna dan motif. Corak atau pemilihan gambar juga berbeda setiap daerah.
Menurut pedagang kerajinan, Santi Silab dari kelompok pengrajin Veotnai Matani yang mengisi salah satu stand produk kerajinan, beberapa motif tenun bisa pula dilihat dari warnanya. Misalkan Motif Insana cenderung berwarna cerah, dan menggunakan benang toko. Jenisnya ada dua, yaitu sotis dan buna. Motif sotis memiliki permukaan yang rata, dengan tampilan cenderung kalem karena menggunakan warna tanah. Sedangkan motif buna kebalikannya, yakni memiliki permukaan yang tidak rata. Ada bagian yang lebih tinggi seperti kain bordir.
Namun begitu, sebenarnya permukaan kain buna bagian luar dan dalam hampir sama. Jika tidak teliti, akan sulit membedakan antara kain bagian luar dengan bagian dalam. Karena keunikannya, motif ini banyak disukai dan dicari para desainer. Ada juga yang mencari motif buna untuk dipakai sendiri, baik sebagai koleksi maupun hadiah. Soal harga, motif buna jauh lebih mahal dibanding sotis.
“Di sini kami jual harganya kisaran 10 dolar sampai ada yang 80 dolar. Memang harganya lumayan karena proses pembuatannya selain membutuhkan keahlian juga membutuhkan waktu,” kata Santi.
Menurut Santi dirinya ikut memeriahkan acara dengan mengisi stand produk kerajinan selain menjual produk juga untuk mengembangkan jaringan. “Kalau kita banyak kenal, banyak jaringan, nanti kalau ada acara-acara lain yang lebih besar kita akan dilibatkan juga. Ini bagus buat mengembangkan usaha kita,” kata Santi yang berharap kegiatan seperti ini bisa sering diadakan.
Kegiatan ini sendiri selain untuk meningkatkan kunjungan wisman Timor Leste juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Sementara dari pihak pemerintah hanya sekadar memfasilitasi. Dengan kegiatan ini diharapkan segala bentuk usaha, baik kerajinan maupun kuliner atau bahkan minuman tradisional setempat bisa lebih berkembang.
Pada FWI Crossborder Indonesia – Timor Leste ini selain dijual produk-produk kerajinan lokal, juga dijual kuliner khas Timor, seperti jahe kelor, stick ubi jalar ungu, sambal Lu’At, Selai Asam dan lain-lain. Tak hanya itu, selain di boot-boot yang disediakan panitia, pedagang-pedagang lokal kedua negara juga meramaikan dengan menggelar dagangan mereka di sekitar area kegiatan. Maklum, kebetulan hari Jumat adalah hari pasar buat mereka.
Saat hari pasar tiba, warga Timor Leste berbondong-bondong datang ke perbatasan Napan untuk membeli kebutuhan pokok mereka. Di sini mereka menjual dan membeli untuk kebutuhan pokok selama seminggu. Karena pasar hanya ada di hari Jumat. Namun teristimewanya kali ini ada Festival Wonderful Indonesia sehingga pasar yang tadinya rutinitas biasa menjadi lebih meriah. Iringan panggung musik juga mampu menghibur mereka.
Azanna Kait, pedagang gula, garam dan kebutuhan dapur lainnya asal Timor Leste, mengaku senang dengan adanya kegiatan ini. “Jadi lebih ramai, lebih meriah,” kata wanita yang gemar mengunyah sirih pinang ini.
Hal yang sama juga dikatakan Paulo Kait, pemuda Oecusse yang sengaja datang mencari hiburan karena diakuinya dikotanya masih jarang hiburan.