Batam – Ada beberapa jenis usaha yang bisa dilakukan di sekitar kawasan hutan produksi. Antara lain pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, serta penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Hal itu disampaikan Kasubdit Usaha Jasa Lingkungan, Kementerian LHK Wahyu Nurhidayat, saat menjadi pemateri Bimbingan Teknis (Bimtek) Izin Usaha Penyedia Sarana Wisata Alam di Kawasan Hutan Produksi. Kegiatannya sendiri berlangsung di Swiss-Belhotel Harbour Bay Batam, Kamis (21/8).
Menurutnya, jenis-jenis kegiatan tersebut tidak bersifat limitatif, sepanjang tidak mengubah bentang alam. Tidak merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan, dan/atau tidak mengurangi fungsi utamanya.
Diakuinya, Permen LHK yang mengatur pedoman kegiatan usaha jasa lingkungan wisata alam pada hutan produksi, baru terbit pada Maret 2016. Yaitu Permen LHK No.P.31/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016.
“Sampai saat ini, terdapat 7 perusahaan yang telah memperoleh izin dari Gubernur. Yaitu 5 di Provinsi Kepulauan Riau, 1 di Provinsi Bangka Belitung, dan 1 di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Silahkan saja mengembangkan Hutan, karena nantinya akan menjadi daya tarik yang mumpuni,” ujarnya.
Selain itu, terdapat 8 KPHP yang telah mengembangkan wisata alam rintisan. Yakni KPHP Ladongi, KPHP Gunung Duren, KPHP Tabalong, dan KPHP Gula Raya. Kemudian KPHP Sawandori, KPHP Bacan, KPHP Sorong, dan KPH Manggarai Barat.
“Masalahnya, Permen LHK No.P.49/Menlhk/Setjen/Kum.1/9/2017 tentang kerjasama pemanfaatan hutan pada KPH untuk jasa lingkungan, dibatasi hanya untuk 10 tahun. Ini yang membuat kurang menarik bagi investor untuk kerjasama dengan KPH dalam mengembangkan wisata alam di wilayah kerja KPHP,” bebernya.
Lebih jauh Wahyu Nurhidayat mengatakan, KPHP sebagai pengelola di tingkat tapak, belum siap untuk mengembangkan wisata alam di wilayah kerjanya. Umumnya, lokasi kawasan hutan produksi berada di daerah remote dengan akses yang terbatas. Selain itu, Sumber Daya Manusia yang memiliki kompetensi di bidang wisata alam, masih sangat kurang.
Deputi Bidang Pengembangan Industri dan Kelembagaan Kemenpar Ni Wayan Giri Adnyani menyatakan, perlu ada solusi untuk mengurai permasalah seperti yang dipaparkan Wahyu Nurhidayat. Diakuinya, perlu investasi yang cukup besar dalam pengembangan wisata alam.
“Selain itu, perlu waktu relative lama untuk mencapai break event point. Diperkirakan sekitar 8-10 tahun. Lebih dari itu, fasilitasi OSS terkait dengan penggunaan kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), belum bisa menjamin kepastian dalam memperoleh izin pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam (IUPJLWA),” ungkapnya.
Asdep Pengembangan Wisata Alam dan Buatan Kemenpar Alexander Revaan menambahkan, perlu adanya revisi Permen LHK No.P.49/2017. Ini penting, agar dapat memberikan kepastian bahwa kerjasama pengembangan wisata alam dengan KPH di wilayah kerjanya, dapat dilakukan minimal 20 tahun.
“Harus ada pendampingan terhadap KPHP untuk penyusunan dokumen perencanaan desain tapak. Termasuk pelatihan pemandu wisata, pengelolaan wisata alam, dan memfasilitasi untuk studi banding. Serta pemberian bantuan prasarana untuk wisata alam,” ucapnya.
Lebih dari itu, harus ada sosialisasi terhadap para investor untuk berinvestasi dalam pengembangan wisata alam pada hutan produksi. Khususnya di daerah-daerah yang prospektif. Seperti Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Bangka Belitung, NTB dan NTT.
Ketua Tim Percepatan Pengembangan Ekowisata (TPPE) Kemenpar David Makes mengatakan, Bimtek ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman para stakeholder terkait. Khususnya mengenai perizinan Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam di Hutan Produksi.
“Adapun tujuannya adalah memfasilitasi stakeholder terkait untuk memahami proses perizinan pemanfaatan usaha jasa lingkungan wisata alam, terutama pada kawasan hutan produksi,” ujarnya.
Menurutnya, kawasan hutan produksi Kepulauan Riau menjadi salah satu pengembangan wisata alam paling pesat. Ini karena letaknya yang strategis, dimana Kepri berbatasan langsung dengan 3 negara. Yaitu Singapore, Malaysia, dan Vietnam. _selain itu dari dipahaminya proses perizinan oleh para stakeholder diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan jasa lingkungan kawasan hutan produksi yang dapat bermanfaat bagi negara ataupun masyarakat setempat._
Menteri Pariwisata Arief Yahya menyatakan, Kepri menjadi salah satu daerah prioritas di sektor pariwisata. Banyak atraksi yang ditawarkan daerah ini, baik yang sudah tersohor maupun yang sedang digali. Dari sisi kunjungan wisatawan, jumlah wisman yang datang ke Kepri pun semakin meningkat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kepri, sepanjang Januari-Juni 2019 terdapat 1.137.976 wisman yang berkunjung daerah ini. Realisasi kunjungan wisman tersebut menempatkan Kepri di posisi kedua sebagai daerah dengan kunjungan wisman tertinggi di Indonesia, setelah Bali.
“Tingginya kunjungan wisatawan ini sejalan dengan besarnya potensi wisata di Provinsi Kepulauan Riau. Selain itu, kita juga telah menerapkan tiga strategi untuk meningkatkan kunjungan wisman ke Kepri. Yakni Hot Deals, Travel Hub, dan Crossborder,” ungkapnya. (****)