Jakarta – Indonesia Tak Kan (Sanggup) Lockdown. Kemampuan sosial, politik dan ekonomi Indonesia tidak akan mampu menghadapi virus corona seperti yang China lakukan. -Kita butuh social experience yang tidak biasa menghadapi wabah covid19-
Mengapa?
Secara mental, sosial dan budaya dan indonesia ataupun negara-negara lain tidak bisa se-solid dan sekuat China menghadapi wabah, yang mengharuskan lockdown. Masyarakat indonesia tidak siap menghadapi wabah virus, masyarakat indonesia dengan kemajemukannya sulit untuk disiplin dalam menjalankan perintah, instruksi ataupun himbauan protokol tanggap darurat yg telah dikeluarkan pemerintah. Tingkat kesadaran (awareness level) dan simpati publik (public sympathy) yang beraneka frekuensi menjadi salah satu faktor handy cap terbesar yang tidak mudah dipecahkan. Inilah gambaran betapa multi-natural masyarakat kita. Model kultural dan otoriterian Cina tidak ada di kita.
Secara ekonomi dan politik, kita tidak siap menahan wabah virus ini. Walaupun misalnya seperti AS dan Uni Eropa, mampu dan memiliki sumber daya finansial namun kecepatan penyediaan anggaran tidak seefektif China, yang mengalir dari hulu ke hilir tanpa harus melewati prosedur birokrasi yang kompleks dengan Parlemen. Ini juga menjadi faktor kendala dalam akselerasi menghadapi Covid 19.
Benarkah Pemerintah tidak serius?
Pemerintah sangat serius, tapi kemampuan untuk memobilisasi perlengkapan, peralatan, sarana dan prasarana, koordinasi antar kementrian dan lembaga terkait yang berwenang tidak menjadikan segalanya menjadi lebih mudah.
Apakah Pemerintah tidak siap?
Tidak ada satu negara pun yang siap menghadapi wabah seperti ini. Wabah seperti ini pun bukan yang pertama melanda bumi. Yang berbeda adalah pengalaman dan penanganan (tanggap) bencana; yang tentunya perlu ditunjang berbagai dimensi sarana, prasarana, logistik, sumber daya manusia, dll.
Yang perlu diperhatikan pemerintah saat ini adalah, bagaimana meredam kekhawatiran dan kekecewaan sebagian rakyat yang hingga saat ini kurang puas dengan kinerja pemerintah. Daily Updates satgas corona yang lebih cenderung menampilkan pergerakan data, baik dari sisi jumlah peningkatan suspect dan angka kematian, yang tidak sebanding dengan yang sembuh. Disinilah pemerintah harus cerdik dan berhati-hati, jangan bermain-main dengan angka statistik yang justru memiliki implikasi psikologis massa yang kontra produktif.
Di satu sisi BNPB melakukan Langkah yang tidak biasa untuk melibatkan influencer dalam menghadapi opini di media sosial, terbukti hal ini cukup efektif. Hasilnya Donasi kemanusian dari masyarakat mengalir deras. Inilah local wisdom kita, dimana kekuatan civil society lebih dipercaya dalam membangun interaksi berbangsa dibandingkan aparatur negara kita.
Penting bagi Presiden untuk segera menunjuk spoke person (juru bicara) yang handal, entah kepada menteri terpilih dan/atau para pembantunya yang lain, yang memang memiliki tingkat kepercayaan tinggi dan penerimaan yang positif di mata publik. Pemerintah butuh figur yang cakap dan handal. Ini bukan sekedar tentang apa yang disampaikan, tetapi bagaimana menyampaikan situasi krisis dengan penuh optimisme dan harapan bagi seluruh rakyat indonesia.
Nah, kembali kepada persoalan kerumunan (mobilitas warga), alasan (reason) mengapa masih banyak orang yang keluyuran disaat pemerintah sudah menetapkan situasi tanggap darurat.
Pertama, tidak ada acuan skenario dan tindakan yang jelas dari pempus atau pemda terkait penanganan pandemi korona yang bisa diadopsi dan dipatuhi warga.
Kedua, sebagian besar masyarakat kita menggerakkan dapur ekonominya lewat sektor informal dan atau berpenghasilan habis harian/mingguan (buruh, kuli, pegawai upahan). Uang dan penghasilan harian adalah sumber utama menghidupi keluarga.
Ketiga, pemerintah mengkhawatirkan konsekuensi dari kebijakan lockdown/lokalisir. Yaitu mereka harus mensubtitusi margin publik yang hilang selama periode tanggap darurat. Mereka harus menjamin ketersediaan barang pokok, vitamin, alkes dst kepada publik dengan harga murah bahkan gratis. Sementara kondisi APBN kita hari ini dan ke depan mengkhawatirkan.
Keempat, tidak taatnya masyarakat untuk stay at home bukan tanpa alasan. Masyarakat bukannya tidak takut akan wabah covid-19. Masyarakat kita juga bukan takut kelaparan. Semua orang rata-rata porsi makannya ya kan sama saja. Yang ditakutkan oleh masyarakat (kelas menengah ke bawah) adalah takut dengan tukang tagih, takut sama tanggal jatuh tempo. Masyarakat takut tidak punya rumah/tempat tinggal (kehilangan rumah) karena gagal bayar. Masyarakat takut kendaraannya diambil leasing karena terlambat bayar cicilan. Masyarakat takut tidak bisa membayar kontrakan/kost bulanan.
Lalu Skenario apa yang cocok untuk Indonesia dalam menghadapi serangan wabah korona yang eksponensial ini? Kita belum lihat.
Persentase kematian kasus Corona Covid 19 di Indonesia melejit ke nomor dua dunia. Dari 579 kasus, 49 orang meninggal (data senin, 23 maret 2020), artinya ini di atas 8%. Sementara WHO menetapkan batas 0,3% persen saja. Diperkirakan angka ini akan mengalami kenaikan.
Menyalahkan tingginya angka kematian per kasus korona kepada korban adalah alasan buruk dan tidak manusiawi. Pemerintah seperti sedang menggeser tanggungjawab yang harus ditanggung mereka sebagai penyelenggara negeri ke pundak masing-masing warga.
Inilah mengapa kita perlu skenario social experience yang tidak biasa. Pemerintah sesegera mungkin mengeluarkan perpres darurat yang memerintahkan bank-bank dan usaha rental uang menunda, memotong atau bahkan menghapuskan aneka tagihan kredit. Baik itu kredit rumah, KTA, mobil, motor atau kulkas dalam periode lockdown.
Kita butuh skenario social experience luar biasa seperti ini, dan bukan sekedar maaf saja; atau membagikan tips dan trik membuat disinfektan. Apalagi himbauan atau edaran agar warga tenang.
Kebijakan dalam bentuk penangguhan dan/atau penghapusan pembayaran kredit rumah, motor, mobil, dan kredit tanpa agunan oleh bank-bank pemerintah dan swasta selama masa pandemi (diperkirakan 4-6 bulan) ini akan menjadi obat ampuh mengatasi panik rakyat Indonesia. Tentu saja harapannya adalah, uang yang harusnya dibayarkan sebagai cicilan pinjaman dapat digunakan untuk belanja keperluan lock-down (tanggap darurat) seperti beras, tepung, gula, mie instant, dan paket pulsa internet.
Oleh karena itu, saya harap KFC, Burger King, Domino Pitsa, dan Ichiban Rameen, juga meningkatkan subsidi promo paket Korono. Dalam rangka krisis Corona buy one get four free. Sebagai role model untuk ‘memaksa’ negara mengeluarkan kebijakan / regulasi atau protokol yang pro terhadap warga negaranya dengan problem primer diatas.
Budi Setiawan
Direktur Sosial Politik One Nation
-Political and Public Policy Consulting-